Kebebasan Sebagai Pemicu Keretakan Jemaat Korintus
Kemajuan zaman merubah pola pikir dan gaya hidup manusia sekarang. Manusia tidak bisa berinteraksi dan bekerja bila tidak ada alat-alat teknologi sebagai penunjang. Kemajuan dan kebebasan seperti sebuah berhala modern yang dijunjung tinggi.
Kondisi ini mengakibatkan kehidupan yang bebas – sebebas bebasnya dengan mengesampingkan aturan. Tatanan kehidupan bersosialpun mengalami pergeseran. Kebebasan dalam berbicara, kebebasan dalam berargumen dan kebebasan dalam berlaku atau berpenampilan semakin di kedepankan sebagai sebuah trend dan gaya hidup.
Memang tidak salah kemajuan dan kebebasan memberikan warna baru bagi peradaban modern. Kemajuan dan kebebasan itu sendiri sangatlah penting. Tergantung bagaimana menyikapinya. Kemajuan dan kebebasan ini mulai masuk sampai pada wilayah spiritual yang mengakibatkan perubahan cara berjemaat dan bergerja.
Disatu sisi gereja mengalami perkembangan kearah kemajuan yang signifikan dan dinamis yang berdampak pada kuantitas jemaat, namun disisi lain memberi pengaruh buruk dimana iman dan kesucian semakin tidak memiliki nilai spiritual yang sacral disamping itu tatanan nilai-nilai kesopanan dan kepatutan dalam kehidupan bersosial semakin tersingkir yaitu adanya kebebasan yang tidak terkendali.
Manusia bertindak sesuai pandangannya sendiri yang dianggap benar dan patut. Pengaruh ini terbawa sampai ke gereja dan kesucian dalam hidup semakin tercemar oleh kebebasan ini.
Kekristenan semakin hari semakin mengalami pergeseran nilai-nilai kesucian dan cenderung kearah sekularisme, hedonisme sebagai budaya baru. Gaya hidup berjemaat semakin kearah liberal dan individualistis. Gerakan kebebasan ini sedang membentuk sebuah tatanan zaman baru dengan budaya baru yang bisa kita sebut generasi “bebas”.
Kondisi kebebasan dan kehidupan tanpa batas berdampak pada kehidupan Kristen dan berjemaat. Faham kebebasan ini di artikan oleh orang Kristen sebagai perubahan yang positif mengingat generasi sekarang telah meninggalkan praktek-praktek kehidupan yang kaku dan legalitas.
Kekristenan lebih cenderung kepada perubahan tersebut tanpa memahami dampak negatif yang ditimbulkan, menerima semua perubahan seutuhnya tanpa mempertimbangkannya. Terbukti dalam pergaulan, berjemaat diwarnai dengan nuansa kebebasan. Etika dan tata krama bersosial semakin ditinggalkan, jemaat cenderung hidup hedonis dan mengejar kenikmatan hidup, berkomunikasi dan bertindak semaunya tanpa menghiraukan moral dan etika.
Perselingkuhan,percabulan, penyimpangan seksual dan lain sebagainya pada zaman ini dianggap sebagai trend dan gaya hidup. Tidak heran kalau dalam gereja kondisi kebebasan ini tidak ditanggapi dan dianggap biasa malah gereja memberikan ruang dan tempat seluas-luasnya untuk berkembang selama itu tidak mengganggu ibadah dan kegiatan kerohanian.
Berangkat dari kondisi dan dampak ini maka perlu untuk mengkaji persoalan ini dari sisi Alkitab untuk menyoroti masalah kebebasan Kristen yang terjadi di jemaat Korintus secara khusus menyoroti hal yang berhubugan dengan sex dan pergaulan bebas dalam 1 Korintus dan dampaknya bagi kehidupan Kristen saat ini.
Aspek sosial
Dari sisi social orang Korintus adalah komunitas yang suka berdebat dan bersosial. Kebudayaan Helenistik mempengaruhi cara mereka berinteraksi kepada sesamanya. Karena latar belakang Yunani, seringkali mereka menyombongkan diri dengan hikmat.
Mereka suka berpikir dan bertindak dengan bebas. Banyak dari mereka senang berdebat dan bertengkar hanya untuk kesenangan semata. 1 Korintus 1:26-28: tidak banyak yang bijak, berpengaruh dan terpandang. 1 Kor. 7:21-23 : Beberapa dari mereka adalah budak-budak. 1 Kor. 11:20-22: Ada yang tidak memiliki apa-apa. 1 Kor. 14:23 : Ada yang memiliki rumah yan cukup besar (Korintus adalah gereja rumah) nampaknya dia adalah Gayus (Roma 16:23). 1 Kor. 16:15-20 : Banyak yang memiliki rumah sendiri. 2 Kor. 8:1-2,14: Mereka cukup mampu. Roma 16:1 : Febe diaken yang cukup kaya (menjadi patron).
Masih banyak aspek yang mempengaruhi pola pikir mereka namun dari dua aspek diatas sudah cukup memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran dan tindakan mereka dalam berjemaat.
Manusia bertindak sesuai pandangannya sendiri yang dianggap benar dan patut. Pengaruh ini terbawa sampai ke gereja dan kesucian dalam hidup semakin tercemar oleh kebebasan ini.
Kekristenan semakin hari semakin mengalami pergeseran nilai-nilai kesucian dan cenderung kearah sekularisme, hedonisme sebagai budaya baru. Gaya hidup berjemaat semakin kearah liberal dan individualistis. Gerakan kebebasan ini sedang membentuk sebuah tatanan zaman baru dengan budaya baru yang bisa kita sebut generasi “bebas”.
Kondisi kebebasan dan kehidupan tanpa batas berdampak pada kehidupan Kristen dan berjemaat. Faham kebebasan ini di artikan oleh orang Kristen sebagai perubahan yang positif mengingat generasi sekarang telah meninggalkan praktek-praktek kehidupan yang kaku dan legalitas.
Kekristenan lebih cenderung kepada perubahan tersebut tanpa memahami dampak negatif yang ditimbulkan, menerima semua perubahan seutuhnya tanpa mempertimbangkannya. Terbukti dalam pergaulan, berjemaat diwarnai dengan nuansa kebebasan. Etika dan tata krama bersosial semakin ditinggalkan, jemaat cenderung hidup hedonis dan mengejar kenikmatan hidup, berkomunikasi dan bertindak semaunya tanpa menghiraukan moral dan etika.
Perselingkuhan,percabulan, penyimpangan seksual dan lain sebagainya pada zaman ini dianggap sebagai trend dan gaya hidup. Tidak heran kalau dalam gereja kondisi kebebasan ini tidak ditanggapi dan dianggap biasa malah gereja memberikan ruang dan tempat seluas-luasnya untuk berkembang selama itu tidak mengganggu ibadah dan kegiatan kerohanian.
Berangkat dari kondisi dan dampak ini maka perlu untuk mengkaji persoalan ini dari sisi Alkitab untuk menyoroti masalah kebebasan Kristen yang terjadi di jemaat Korintus secara khusus menyoroti hal yang berhubugan dengan sex dan pergaulan bebas dalam 1 Korintus dan dampaknya bagi kehidupan Kristen saat ini.
Bagaimana pandangan jemaat Korintus terhadap kebebasan?
Apa pandangan Paulus ?
Apa implikasi-implikasi teologis?
Untuk memahami pola pikir dan tindakan jeamaat Korintus, sangatlah penting untuk melihat mereka dari aspek cultural dan sosial untuk dapat memahami gaya hidup dan keyakinan mereka.
Apa pandangan Paulus ?
Apa implikasi-implikasi teologis?
Untuk memahami pola pikir dan tindakan jeamaat Korintus, sangatlah penting untuk melihat mereka dari aspek cultural dan sosial untuk dapat memahami gaya hidup dan keyakinan mereka.
Aspek Kultural
Dipusat kota Korintus berdirilah kuil Apollo yang permai. Di puncak bukit yang menjulang di atas Korintus berdirilah Kuil Aphrodite. Didalam rumah-rumah berhala Yunani seringkali terdapat patung dewa-dewa.
Sangatlah jelas kondisi ini mempengaruhi semua pola pikir, gaya hidup dan interaksi social mereka. Kondisi budaya ini memberi daya tarik tersendiri bagi siapapun untuk mengunjungi kota Korintus. Jelas dampak yang biasa dirasakan di kota Korintus adalah semakin menjadi kota cosmopolitan yang heterogen, pencampuran kebudayaan dan keyakinan dimana setiap orang bisa mengekspresikan kebebasannya tanpa ada aturan ataupun halangan.
Kota Korintus sudah menjadi pusat industri, perdagangan dan komersialisasi kesenangan. Hampir tidak ada laki-laki yang sanggup bertahan jika mengadakan perjalanan ke Korintus. Korintus kemudian tidak hanya identik dengan lambang kemakmuran, kesenangan, kemabukan dan penyelewengan susila, melainkan juga kemerosotan moral.
Dipusat kota Korintus berdirilah kuil Apollo yang permai. Di puncak bukit yang menjulang di atas Korintus berdirilah Kuil Aphrodite. Didalam rumah-rumah berhala Yunani seringkali terdapat patung dewa-dewa.
Sangatlah jelas kondisi ini mempengaruhi semua pola pikir, gaya hidup dan interaksi social mereka. Kondisi budaya ini memberi daya tarik tersendiri bagi siapapun untuk mengunjungi kota Korintus. Jelas dampak yang biasa dirasakan di kota Korintus adalah semakin menjadi kota cosmopolitan yang heterogen, pencampuran kebudayaan dan keyakinan dimana setiap orang bisa mengekspresikan kebebasannya tanpa ada aturan ataupun halangan.
Kota Korintus sudah menjadi pusat industri, perdagangan dan komersialisasi kesenangan. Hampir tidak ada laki-laki yang sanggup bertahan jika mengadakan perjalanan ke Korintus. Korintus kemudian tidak hanya identik dengan lambang kemakmuran, kesenangan, kemabukan dan penyelewengan susila, melainkan juga kemerosotan moral.
Dari sisi social orang Korintus adalah komunitas yang suka berdebat dan bersosial. Kebudayaan Helenistik mempengaruhi cara mereka berinteraksi kepada sesamanya. Karena latar belakang Yunani, seringkali mereka menyombongkan diri dengan hikmat.
Mereka suka berpikir dan bertindak dengan bebas. Banyak dari mereka senang berdebat dan bertengkar hanya untuk kesenangan semata. 1 Korintus 1:26-28: tidak banyak yang bijak, berpengaruh dan terpandang. 1 Kor. 7:21-23 : Beberapa dari mereka adalah budak-budak. 1 Kor. 11:20-22: Ada yang tidak memiliki apa-apa. 1 Kor. 14:23 : Ada yang memiliki rumah yan cukup besar (Korintus adalah gereja rumah) nampaknya dia adalah Gayus (Roma 16:23). 1 Kor. 16:15-20 : Banyak yang memiliki rumah sendiri. 2 Kor. 8:1-2,14: Mereka cukup mampu. Roma 16:1 : Febe diaken yang cukup kaya (menjadi patron).
Masih banyak aspek yang mempengaruhi pola pikir mereka namun dari dua aspek diatas sudah cukup memberi pengaruh yang sangat besar terhadap pemikiran dan tindakan mereka dalam berjemaat.
Pandangan Jemaat Korintus Mengenai Kebebasan
Dalam suratnya Paulus menegaskan tentang masalah percabulan (1 Korintus 6:12-20) bahwa ada kebebasan yang tidak terkontrol mengenai hubungan mereka terhadap orang lain dan terhadap pasangan hidup mereka sendiri dimana tidak ada aturan yang mengatur kebebasan mereka dalam bertindak.
Bagi pemahaman mereka, percabulan itu merupakan hal yang lumrah dikalangan orang Korintus dan sudah menjadi biasa dan mungkin tidak dianggap dosa. Kasus yang terjadi adalah ada anggota jemaat yang berzinah dengan istri ayahnya (1 Korintus 5:1) praktek semacam ini hanya dijumpai di Korintus (5:1). Pelanggaran yang berat seperti ini merupakan suatu kebanggaan dan bahkan orang korintus merasan sombong dengan keberdosaan mereka.
Julukan yang disandangkan pada Kota Korintus adalah “korintiazo” yang artinya berzinah seperti orang korintus. Praktek-praktek prostitusi dikelola dengan baik dan professional sebagai daya tarik bagi siapa saja yang berkunjung. Para pria bebas menjajakan diri atau menyewa para pelacur sepuasnya. Praktek-praktek prostitusi dan kebebasan dalam bergaul ini dipengaruhi oleh filsafat dualisme,yang menempatkan hal-hal yang bersifat rohani (im-materi) memiliki nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat jasmani (materi). Filsafat ini menimbulkan dua ekstrim:
Terjebak kepada tindakan asketisme: pertarakan, yang melarang untuk melakukan hubungan seksual (ps.7)
Terjebak kepada Libertinisme: karena apa saja yang dilakukan oleh tubuh tidak mempengaruhi rohani seseorang (ps. 5: 1-13; 6:12-20).
Di Korintus ada anggapan bahwa tidak ada pengaruh tubuh kepada roh. Menurut orang yang berpendapat demikian tubuh itu bersifat fana (sementara) sedangkan roh bersifat kekal. Oleh karena itu mereka menyerahkan begitu saja tubuhnya untuk diperbudak oleh nafsu daging.
Praktek pelacuran bakti ini merupakan bagian dari liturgy penyembahan mereka kepada dewa-dewa dan itu lumrah dikalangan mereka. Oleh karena seks bebas yang di lakukan di Kuil merupakan sesuatu kebiasaan dari liturgi mereka maka ini terbawa ke dalam gereja, sehingga terjadilah yang namanya percabulan di dalam jemaat, dan ini terjadi diantara anggota-anggota jemaat.
Cara pandang dan praktek kehidudan serta keyakinan yang bebas semacam inilah sebagai pemicu perpecahan didalam jemaat dan menghancurkan tatanan kesucian dan keutuhan gereja di Korintus.
Tindakan amoral di Korintus sudah mencapai batas ketidak wajaran, karena Paulus tidak menyebutkan secara spesifik seks jenis apakah yang terjadi dalam jemaat ini. Kemungkinan besar semua tindakan seks yang tergolong dalam keluarga seks sudah dilakukan, baik itu perselingkuhan, baik itu ayah tidur dengan anaknya, anak tidur dengan ibunya, atau pun homoseksualitas dan lesbian, ini sudah terjadi dalam jemaat ini, sehingga Paulus menggunakan kata yang dapat menggambarkan secara keseluruhan tindakan amoral di Korintus dengan kata PORNEIA yang artinya percabulan.
Percabulan ini menunjuk kepada keluarga seks apapun itu jenisnya. Bahkan semua unsur seks terkandung dalam percabulan itu. Termasuk Pelacur, Gigolo, Gay dan juga Germo.
Lebih lanjut dalam surat Paulus di Pasal 7, dia menyoroti kebebasan yang terjadi di dalam pernikahan sebagai akibat dari Porneia tadi. Ada banyak perdebatan diantara jemaat Korintus perihal pernikahan ini.
Pertanyaan-pertanyaanpun timbul diantara jemaat untuk mendukung kebebasan yang selama ini mereka hidupi. Beberapa pertanyan yang muncul adalah: salahkah bila seseorang menikah?, bolehkan seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya?, bolehkan seorang janda atau duda menikah lagi?, bolehkan seorang istri Kristen menceraikan suaminya? Bolehkah perkawinan diantara seorang yang beriman dan seorang yang tidak beriman dibatalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sebagai reaksi ketidak puasan atas kebebasan mereka yang mengalami pencerahan.
Rupanya pendapat anggota-anggota jemaat Tuhan di Korintus itu berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa lebih baik seorang menikah, ada pula yang berpendapat bahwa lebih baik kalau seorang tetap membujang. Perbedaan pendapat ini jelas mengacu pada pandangan dualisme.
Kelompok yang satu mendukung pertarakan tetapi yang lain menjunjung tinggi kebebasan atau libertinisme. Kebebasan mengungkapkan hal-hal seksual dalam pernikahan harus dijauhkan karena merupakan kesenangan jasmani (asketisme) dan menolak pengungkapan gairah seksual dalam pernikahan. Lain halnya dengan para lawan Paulus yaitu para pelayan, pemuda yang bebas melakukan insect dan itu wajar sebagai sesuatu hal yang harus dibanggakan.
Jadi dalam hal pernikahan, orang Korintus memandangnya sah-sah saja untuk menikah atau cerai dan penyimpangan dalam pernikahan sangat bebas. Sikap sombong jemaat Korintus dalam kaitannya dengan hal yang kongkrit dan bersifat jasmani tidak ada larangannya. Terungkap dalam pernyataan, “segala sesuatu halal” (1 Korintus 6:12).
Dalam suratnya Paulus menegaskan tentang masalah percabulan (1 Korintus 6:12-20) bahwa ada kebebasan yang tidak terkontrol mengenai hubungan mereka terhadap orang lain dan terhadap pasangan hidup mereka sendiri dimana tidak ada aturan yang mengatur kebebasan mereka dalam bertindak.
Bagi pemahaman mereka, percabulan itu merupakan hal yang lumrah dikalangan orang Korintus dan sudah menjadi biasa dan mungkin tidak dianggap dosa. Kasus yang terjadi adalah ada anggota jemaat yang berzinah dengan istri ayahnya (1 Korintus 5:1) praktek semacam ini hanya dijumpai di Korintus (5:1). Pelanggaran yang berat seperti ini merupakan suatu kebanggaan dan bahkan orang korintus merasan sombong dengan keberdosaan mereka.
Julukan yang disandangkan pada Kota Korintus adalah “korintiazo” yang artinya berzinah seperti orang korintus. Praktek-praktek prostitusi dikelola dengan baik dan professional sebagai daya tarik bagi siapa saja yang berkunjung. Para pria bebas menjajakan diri atau menyewa para pelacur sepuasnya. Praktek-praktek prostitusi dan kebebasan dalam bergaul ini dipengaruhi oleh filsafat dualisme,yang menempatkan hal-hal yang bersifat rohani (im-materi) memiliki nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat jasmani (materi). Filsafat ini menimbulkan dua ekstrim:
Terjebak kepada tindakan asketisme: pertarakan, yang melarang untuk melakukan hubungan seksual (ps.7)
Terjebak kepada Libertinisme: karena apa saja yang dilakukan oleh tubuh tidak mempengaruhi rohani seseorang (ps. 5: 1-13; 6:12-20).
Cara pandang dan praktek kehidudan serta keyakinan yang bebas semacam inilah sebagai pemicu perpecahan didalam jemaat dan menghancurkan tatanan kesucian dan keutuhan gereja di Korintus.
Tindakan amoral di Korintus sudah mencapai batas ketidak wajaran, karena Paulus tidak menyebutkan secara spesifik seks jenis apakah yang terjadi dalam jemaat ini. Kemungkinan besar semua tindakan seks yang tergolong dalam keluarga seks sudah dilakukan, baik itu perselingkuhan, baik itu ayah tidur dengan anaknya, anak tidur dengan ibunya, atau pun homoseksualitas dan lesbian, ini sudah terjadi dalam jemaat ini, sehingga Paulus menggunakan kata yang dapat menggambarkan secara keseluruhan tindakan amoral di Korintus dengan kata PORNEIA yang artinya percabulan.
Percabulan ini menunjuk kepada keluarga seks apapun itu jenisnya. Bahkan semua unsur seks terkandung dalam percabulan itu. Termasuk Pelacur, Gigolo, Gay dan juga Germo.
Lebih lanjut dalam surat Paulus di Pasal 7, dia menyoroti kebebasan yang terjadi di dalam pernikahan sebagai akibat dari Porneia tadi. Ada banyak perdebatan diantara jemaat Korintus perihal pernikahan ini.
Pertanyaan-pertanyaanpun timbul diantara jemaat untuk mendukung kebebasan yang selama ini mereka hidupi. Beberapa pertanyan yang muncul adalah: salahkah bila seseorang menikah?, bolehkan seseorang yang sudah menikah menjauhi pasangannya?, bolehkan seorang janda atau duda menikah lagi?, bolehkan seorang istri Kristen menceraikan suaminya? Bolehkah perkawinan diantara seorang yang beriman dan seorang yang tidak beriman dibatalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan sebagai reaksi ketidak puasan atas kebebasan mereka yang mengalami pencerahan.
Rupanya pendapat anggota-anggota jemaat Tuhan di Korintus itu berbeda-beda. Ada yang berpendapat bahwa lebih baik seorang menikah, ada pula yang berpendapat bahwa lebih baik kalau seorang tetap membujang. Perbedaan pendapat ini jelas mengacu pada pandangan dualisme.
Kelompok yang satu mendukung pertarakan tetapi yang lain menjunjung tinggi kebebasan atau libertinisme. Kebebasan mengungkapkan hal-hal seksual dalam pernikahan harus dijauhkan karena merupakan kesenangan jasmani (asketisme) dan menolak pengungkapan gairah seksual dalam pernikahan. Lain halnya dengan para lawan Paulus yaitu para pelayan, pemuda yang bebas melakukan insect dan itu wajar sebagai sesuatu hal yang harus dibanggakan.
Jadi dalam hal pernikahan, orang Korintus memandangnya sah-sah saja untuk menikah atau cerai dan penyimpangan dalam pernikahan sangat bebas. Sikap sombong jemaat Korintus dalam kaitannya dengan hal yang kongkrit dan bersifat jasmani tidak ada larangannya. Terungkap dalam pernyataan, “segala sesuatu halal” (1 Korintus 6:12).
Pandangan Paulus Mengenai Kebebasan
Jemaat Korintus disebut oleh Paulus adalah jemaat yang masih duniawi dan masih belum dewasa atau masih bayi rohani (1 Kor 1:10). Dalam hal ini Paulus tidak mengatakan bahwa jemaat Korintus masih belum lahir baru, karena pada pembuka suratnya kepada jemaat ini ia mengatakan bahwa jemaat Korintus adalah orang-orang kudus.
Dengan pemahaman demikian berarti Paulus menjelaskan bahwa orang-orang kudus di Korintus masih memiliki sifat duniawi atau masih hidup dalam daging. Paulus mengelompokkan jemaat Korintus ke dalam golongan “Sarkikos”.
“Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh sesuatu apapun”. Untuk memahami perkataan Paulus ini merujuk pada kondisi orang-orang Korintus bahwa, kesalahan dalam jemaat itu ialah bahwa mereka sudah terpengaruh oleh hawa nafsu kota Korintus dan hal itu sangat berbahaya.[3]
Hampir semua masalah yang timbul dalam jemaat Korintus berhubungan langsung dengan latar belakang kehidupan kota Korintus. Perzinahan, yang dilakukan beberapa warga jemaat, jelas masih berhubungan dengan perzinahan sakral yang dipromosikan para pelacur kuil.
Pemicu perpecahan mengenai masalah percabulan yaitu seorang pemuda yang disebutkan dalam pasal 5 ketika mereka berpendapat bahwa masalah jasmani beda dengan yang rohani.
Paulus berpandangan monistik, semuanya berhubungan dan menjadi satu. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh (Pasal 6:13) memang sangat kontras dengan konsep orang Korintus tentang kehidupan setelah mati.
Bagi mereka tidak ada kehidupan setelah kematian, yang ada adalah kebinasaan (kehancuran dari tubuh). Namun maksud Paulus adalah Anggota Kristus adalah anggota tubuh Kristus dalam kesatuan secara rohani, pergi ke pelacuran berarti mengambil diri dari kesatuan tubuh Kristus.
Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya kepada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. (6:17). Tetapi jika seseorang tidak menyatukan diri dengan pelacur, melainkan menyatukan diri dengan Roh, maka dia menjadi satu dengan Tuhan.
Lebih lanjut ketegasan Paulus dinyatakan, orang yang melakukan percabulan ataupun hubungan sedarah atau insect harus dikenakan disiplin gereja dengan menyerahkan kepada Iblis dalam nama Yesus, supaya binasa tubuhnya agar rohnya bisa diselamatkan (5:4-8)
Dalam percabulan (sex diluar perjanjian nikah laki-laki dan perempuan) di Jemaat Korintus Paulus menegaskan bahwa, tujuan pernikahan adalah pengungkapan yang sah dari dorongan yang diberikan Tuhan menuju persatuan fisik dan harus diterima.
Saling menjauhi hanya bisa dapat dilakukan dengan persetujuan bersama dan untuk sementara waktu (1 Korintus 7:5) bukan karena sex itu tidak berharga atau merugikan. Seksualitas yang diberikan Tuhan merupakan dorongan yang kuat. Jika seksualitas ini tidak diberi kesempatan untuk pelepasan yang sewajarnya, timbul bahaya terjadi percabulan.
Tubuh kita diciptakan agar kita dapat berkembang biak dan bukan agar kita melakukan percabulan. Orang Kristen harus memilih satu diantara dua ini, Tuhan Yesus atau percabulan[4].
Bagi Paulus keintiman seksual dalam pernikahan untuk sementara waktu merupakan kelonggaran dan bukan perintah (1 Korintus 7:6). Norma pernikahan adalah adanya hak suami atau istri atas pasangannya dalam persatuan fisik. Kelonggaran ini (waktu luang untuk berdoa 7:5) nampaklah adalah untuk kepentingan jemaat Korintus yang mungkin ingin menjauhkan diri dari kesenangan jasmani secara total.
Jemaat Korintus disebut oleh Paulus adalah jemaat yang masih duniawi dan masih belum dewasa atau masih bayi rohani (1 Kor 1:10). Dalam hal ini Paulus tidak mengatakan bahwa jemaat Korintus masih belum lahir baru, karena pada pembuka suratnya kepada jemaat ini ia mengatakan bahwa jemaat Korintus adalah orang-orang kudus.
Dengan pemahaman demikian berarti Paulus menjelaskan bahwa orang-orang kudus di Korintus masih memiliki sifat duniawi atau masih hidup dalam daging. Paulus mengelompokkan jemaat Korintus ke dalam golongan “Sarkikos”.
“Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh sesuatu apapun”. Untuk memahami perkataan Paulus ini merujuk pada kondisi orang-orang Korintus bahwa, kesalahan dalam jemaat itu ialah bahwa mereka sudah terpengaruh oleh hawa nafsu kota Korintus dan hal itu sangat berbahaya.[3]
Hampir semua masalah yang timbul dalam jemaat Korintus berhubungan langsung dengan latar belakang kehidupan kota Korintus. Perzinahan, yang dilakukan beberapa warga jemaat, jelas masih berhubungan dengan perzinahan sakral yang dipromosikan para pelacur kuil.
Pemicu perpecahan mengenai masalah percabulan yaitu seorang pemuda yang disebutkan dalam pasal 5 ketika mereka berpendapat bahwa masalah jasmani beda dengan yang rohani.
Paulus berpandangan monistik, semuanya berhubungan dan menjadi satu. Tetapi tubuh bukanlah untuk percabulan, melainkan untuk Tuhan, dan Tuhan untuk tubuh (Pasal 6:13) memang sangat kontras dengan konsep orang Korintus tentang kehidupan setelah mati.
Bagi mereka tidak ada kehidupan setelah kematian, yang ada adalah kebinasaan (kehancuran dari tubuh). Namun maksud Paulus adalah Anggota Kristus adalah anggota tubuh Kristus dalam kesatuan secara rohani, pergi ke pelacuran berarti mengambil diri dari kesatuan tubuh Kristus.
Tetapi siapa yang mengikatkan dirinya kepada Tuhan, menjadi satu roh dengan Dia. (6:17). Tetapi jika seseorang tidak menyatukan diri dengan pelacur, melainkan menyatukan diri dengan Roh, maka dia menjadi satu dengan Tuhan.
Lebih lanjut ketegasan Paulus dinyatakan, orang yang melakukan percabulan ataupun hubungan sedarah atau insect harus dikenakan disiplin gereja dengan menyerahkan kepada Iblis dalam nama Yesus, supaya binasa tubuhnya agar rohnya bisa diselamatkan (5:4-8)
Dalam percabulan (sex diluar perjanjian nikah laki-laki dan perempuan) di Jemaat Korintus Paulus menegaskan bahwa, tujuan pernikahan adalah pengungkapan yang sah dari dorongan yang diberikan Tuhan menuju persatuan fisik dan harus diterima.
Saling menjauhi hanya bisa dapat dilakukan dengan persetujuan bersama dan untuk sementara waktu (1 Korintus 7:5) bukan karena sex itu tidak berharga atau merugikan. Seksualitas yang diberikan Tuhan merupakan dorongan yang kuat. Jika seksualitas ini tidak diberi kesempatan untuk pelepasan yang sewajarnya, timbul bahaya terjadi percabulan.
Tubuh kita diciptakan agar kita dapat berkembang biak dan bukan agar kita melakukan percabulan. Orang Kristen harus memilih satu diantara dua ini, Tuhan Yesus atau percabulan[4].
Bagi Paulus keintiman seksual dalam pernikahan untuk sementara waktu merupakan kelonggaran dan bukan perintah (1 Korintus 7:6). Norma pernikahan adalah adanya hak suami atau istri atas pasangannya dalam persatuan fisik. Kelonggaran ini (waktu luang untuk berdoa 7:5) nampaklah adalah untuk kepentingan jemaat Korintus yang mungkin ingin menjauhkan diri dari kesenangan jasmani secara total.
Implikasi Teologis
Dari pandangan jemaat Korintus dan Paulus sangatlah berbeda dan memiliki nilai masing-masing
Namun nilai nilai alkitabiah yang disampaikan Paulus merupakan landasan kebenaran bagi jemaat Korintus juga bagi orang Kristen secara umum. Implikasi-implikasi secara teologis:
Dari pandangan jemaat Korintus dan Paulus sangatlah berbeda dan memiliki nilai masing-masing
Namun nilai nilai alkitabiah yang disampaikan Paulus merupakan landasan kebenaran bagi jemaat Korintus juga bagi orang Kristen secara umum. Implikasi-implikasi secara teologis:
- Kebebasan adalah hak setiap orang dan memiliki tanggung jawab secara pribadi kepada Tuhan. Paulus menyampaikan, Semuanya ini kukatakan untuk kepentingan kamu sendiri, bukan untuk menghalang-halangi kamu dalam kebebasan kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu melakukan apa yang benar dan baik, dan melayani Tuhan tanpa gangguan (I Korintus 7:35).
- Anugrah kebebasan yang diberikan bukan untuk memuaskan nafsu dan merendahkan orang lain tetapi untuk membangun tubuh Kristus. Tetapi jagalah, supaya kebebasanmu ini jangan menjadi batu sandungan bagi mereka yang lemah (I Korintus 88:9).
- Kebebasan dalam lembaga pernikahan adalah terikat. Ada norma yang harus ditaati. Keterikatan dalam pernikahan merupakan gambaran penyatuan kita dengan Kristus. Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu, supaya kamu mendapat kesempatan untuk berdoa. Sesudah itu hendaklah kamu kembali hidup (1 Korintus 7:5).
Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apa pun (1 Korintus 6:12).
Semua yang di berikan oleh Tuhan adalah baik dan bebas untuk manusia dapatkan dan nikmati, tetapi ada aturan main dari Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Landasan kebenaran dari Tuhan merupakan pilihan yang mutlak bagi kita karena kebenaran itu yang akan memerdekakan kita dari segala kecemaran hidup.
Written By: Frans
DAFTAR PUSTAKA
Baker , D. L. dkk. Gaya Hidup Kristen Dalam Jemaat Dan Masyarakat, Jakarta: Persekutuan
Pembaca Alkitab, 1994
Spitler, Rusel. P. Pertama Dan Kedua Korintus, Malang: Gandum Mas, 1964
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus Pertama, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1994
[1] Russel P Spittler, Pertama dan Kedua Korintus, (Malang: Gandum Mas,1964) hal 8
[2] D. L. Baker, E. D. R. Hutauruk, R. Butarbutar dan Mahasiswa STT-HKBP, Gaya Hidup Kristen, (Jakarta:Persekutuan Pembaca Alkitab,1994)hal 24
[3] J. Wesley Brill, Tasiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1994)hal 128
[4] J. Wesley Brill, Tasiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1994)hal 129
Baker , D. L. dkk. Gaya Hidup Kristen Dalam Jemaat Dan Masyarakat, Jakarta: Persekutuan
Pembaca Alkitab, 1994
Spitler, Rusel. P. Pertama Dan Kedua Korintus, Malang: Gandum Mas, 1964
Brill, J. Wesley. Tafsiran Surat Korintus Pertama, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1994
[1] Russel P Spittler, Pertama dan Kedua Korintus, (Malang: Gandum Mas,1964) hal 8
[2] D. L. Baker, E. D. R. Hutauruk, R. Butarbutar dan Mahasiswa STT-HKBP, Gaya Hidup Kristen, (Jakarta:Persekutuan Pembaca Alkitab,1994)hal 24
[3] J. Wesley Brill, Tasiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1994)hal 128
[4] J. Wesley Brill, Tasiran Surat Korintus Pertama (Bandung: Yayasan Kalam Hidup,1994)hal 129
Posting Komentar untuk "Kebebasan Sebagai Pemicu Keretakan Jemaat Korintus"