Rasisme, Islamofobia Dan Tuduhan Terhadap Minoritas
Sikap rasisme, islamofobia dan tuduhan terhadap minoritas sering kita jumpai dan bahkan setiap saat selalu menjadi masalah dimanapun. Dan ini menjadi masalah yang akan merusak toleransi dan keharmonisan hidup
Tuduhan ini biasanya terjadi di negeri seperti Amerika, Eropa tetapi bisa juga terjadi di Indonesia. Kartu rasial ini adalah yang paling umum diserangkan kepada orang non Muslim di Amerika dan Eropa yang mempertanyakan otoritas Muhammad sebagai nabi.
Yang terjadi malah kebalikan dari cercaan seperti itu, dan ajaibnya tidak pernah prasangka ini pernah dianalisis oleh kritikus Islam akan benar tidaknya. Tanpa diragukan istilah rasis adalah senjata orang Muslim dan kacung-nya untuk berlindung dari hukum yang melarang menghina sesama guna kepentingan mengedepan-kan agenda dunia mereka menuju satu dibawah pemerintahan Islam.
Kata-kata rasis sungguh tidak tepat karena satu alasan – Islam tidak terbelenggu oleh satu ras manapun. Suku bangsa mana saja yang disebut Islam? Arab, Indonesia, Bosnia, Algeria, Nigeria…? Bukankah ada orang Muslim yang kulitnya putih juga, Inggris, Amerika, Australia, Selandia Baru, dan Tionghoa? Dan ada juga orang Arab, Indonesia, Bosnia, dan Algeria yang Kristen juga!
Para pembela Islam memainkan kartu ras demikian sering sehingga banyak orang Muslim percaya bahwa serangan atas iman Muslim mereka semata berdasarkan prasangka warna kulit, generalisasi massa, stereotip, dan bahwa kebanyakan dari mereka adalah orang Arab padahal bukan. Ketika kenyataan membuktikan bahwa komunitas Islam terbesar ada di Indonesia.
Ironis sekali, bahwa justru Muslim lah yang patut dipersalahkan dengan membuat anggapan semua orang kulit putih di Amerika adalah Kristen. Kenyataannya, mayoritas orang kulit putih di Amerika bukanlah orang Kristen. Kalian akan tercengang-cengang berapa banyak sih orang kulit putih yang mengaku sebagai orang Kristen.
Orang kulit putih di barat mungkin kelihatan berkultur Kristen, tetapi kebanyakan paham bahwa keselamatan datang dari Yesus Kristus – tapi mereka bukanlah Kristen. Bagaimanapun juga, orang Muslim tetap cepat-cepat menggunakan kartu rasial ini, tetapi pada saat bersamaan menikmati kesempatan untuk memper-tontonkan bagaimana orang kulit putih bisa masuk Islam. Lagi pula, tidak ada orang Muslim sejati yang tidak percaya bahwa orang Yahudi itu tidak lebih dari “babi dan monyet”. Tidakkah itu rasis?
Terlebih lagi orang Muslim yang lahir di negara Muslim, tidak pernah bisa memahami bahwa ada orang yang bisa hidup tanpa agama. Mental seperti ini didengungkan terus sepanjang masa semenjak mereka kecil.
Di dunia Islam, tidak memandang apakah ke-Islam-an itu ktp atau bukan, ia harus mengidentifikasikan dirinya sebagai Muslim – karena kalau menolak imannya berarti hukuman mati. Tidak seperti orang barat, semua orang Muslim, baik yang sungguh-sungguh maupun yang tidak, memiliki beban ikatan oleh karena iman mereka; hal ini ditentukan bukan hanya karena ktp mereka saja, tetapi karena menjadi bagian dari ummat Muslim (komunitas khusus ummat Muslim) – yang sama artinya dengan kewarga-negaraan.
Sementara di dunia modern, kewarga-negaraan adalah nomor satu, kultur nomor dua, baru agama. Bagi seorang Muslim, kewarga-negaraan itu nomor terakhir, kultur nomor dua, Islam nomor satu. Bagi seorang Muslim untuk meninggalkan imannya akan dianggap kehilangan kewarga-negaraan.
Sangat tidak terbayangkan bahkan bagi bangsa Indonesia sekalipun bahwa ada orang tanpa kewarga-negaraan, tetapi orang Muslim sangat tidak disarankan meninggalkan ‘kewarga-negaraan’-nya.
“Kami ummat Muslim percaya bahwa ‘ras kulit putih’ bersalah karena menindas
bangsa kami di sini di Amerika, dan mereka akan menanggung dan akan menjadi korban dari murka angkara Tuhan.” – Malcolm X ‘aktivis hak asasi manusia’
Tangkisan menggunakan ‘Islamofobia’ mungkin menjadi senjata paling sering dipakai nomor dua yang dipakai kaum Muslim untuk, dengan tujuan untuk memunculkan kompleksitas rasa bersalah akan diri sendiri sehingga pengkritik menjadi malu dengan dirinya sendiri.
Ini adalah suatu langkah penting, namun beresiko karena setiap Muslim yang memakai cara ini akan membawa dunia berfokus bagaimana masyarakat barat mendiskriminasikan menurut apa yang dituduhkan Islam. Arti kata ‘fobia’ didefinisikan sebagai rasa takut yang berlebihan/ ’tidak masuk akal sehat’.
Dengan melihat kenyataan bahwa setiap teroris adalah orang Muslim, maka kata ‘Islamofobia’ tersebut kemudian juga bisa memiliki dua arti bahwa kami pun dituduh takut akan teroris Islam – yang malah akhirnya akan membalikkan lagi arti Islam secara umum, menjadi teror Islam.
Sangatlah rasional kalau menakuti sesuatu yang coba kita bersama pahami secara rasional sedang mencoba membunuh kita – kalau ini yang disebut ketakutan yang wajar.
“Islamofobia – suatu istilah yang diciptakan oleh fasis, digunakan oleh pengecut, untuk memanipulasi orang bodoh” – Christopher Hitchens
“Kalian takut akan Islam karena Islam itu penuh kekerasan, ayat-ayatnya yang penuh dengan kebencian dapat ditemukan di Al Quran dan Hadis yang saya miliki. Malu-lah kalau kalian takut! Kalian begitu Islamofobia!” – respon seorang Muslim tentang Islamofobia
Istilah orang bebal juga tuduhan yang senang dilemparkan oleh orang Muslim yang frustasi. Walau demikian, tuduhan ini secara habis-habisan digunakan untuk menyerang kritikus yang memakai hukum demokratis yang lebih masuk akal ketimbang hukum Syariah yang barbar. Pengkritik seperti saya bukanlah orang bebal.
Negara Amerika Serikat juga bukanlah negara bebal karena mengijinkan para imigran dari seluruh dunia bisa berjalan hidup bebas untuk melaksanakan kehidupan beragama mereka, budaya mereka, dan bahkan bahasa mereka di sana.
Dapat dikatakan bahwa orang Amerika adalah orang yang beruntung karena banyaknya imigran di sana yang secara aktif berasimilasi dengan budaya setempat walaupun mereka datang dari begitu banyak latar belakang.
Akan tetapi, bukankah menyedihkan – kalau bisa dikatakan demikian – bahwa mayoritas dari imigran yang masuk Amerika itu adalah orang Muslim? Tetapi jika demikian adanya, bukankah berarti para imigran yang Muslim ini menjadi orang bebal? Jika Islam menyatakan dirinya sebagai superior di dalam opininya sendiri tidak bisa
mentoleransi yang non-Muslim, lah, bukankah malah itu artinya orang bebal? Demikian lah, malah karena Islam lah sekarang arti bebal mendapat difinisi baru, ‘bebal yang Islami’.
Tidak ada ideologi lain di dunia ini, yang membenci Kristen, etnis minoritas, Yahudi, homoseksual, dan wanita di sepanjang sejarah semenjak manusia ada di muka bumi, melebihi Islam.
Menarik, kalau dibalik mengatakan bahwa yang bebal adalah orang Muslim maka akan dibilang hal itu melanggar undang-undang ‘menista agama’. Apakah mereka Islam ‘jingkrak sejati’, atau Islam abangan, mereka percaya bahwa mereka lebih superior ketimbang kawan sebangsa mereka yang non-Muslim.
“Jika anda tidak menerima hukum dari Awloh yang sebenarnya, maka kebebasan yang kalian ciptakan akan diambil! Apa yang kalian ciptakan? Semua yang kalian inginkan itu adalah kebebasan, hukum liberal yang melindungi hak-hak kalian. Kalian tidak punya hak untuk itu! Berani sekali kalian! Kalian itu secara demokratis diistimewakan. Kalian sungguh sebuah bangsa yang bebal!”
– sebuah respon dari seorang Muslim yang ‘bebal’.
Disadur dari buku "People vs Muhammad" oleh J.K Sheindlin
Posting Komentar untuk "Rasisme, Islamofobia Dan Tuduhan Terhadap Minoritas"