Teroris Dan Teror Yang Mendunia

Ketika saya muda saya hanya tahu sedikit apa itu Islam. Walaupun saya tahu bahwa Islam itu ada, dan faktanya Islam adalah sebuah agama, saya tidak pernah memahami secara persis ajarannya apa dan tidak terlalu memahami apa itu Muslim. 

Dari pengetahuan saya yang terbatas, dari sekolah, dan dari ajaran agama yang membuat saya yakin juga semua penganut agama, hampir sama isinya. Yang saya tahu, semua agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa, walaupun mempunyai perbedaan pendapat, walaupun minor, secara teologi dapat dianggap umum. 

Meskipun begitu, saya tetap menganggap Islam sebagai agama yang bijak, seperti Kristen, mengkotbahkan tentang bagaimana berdamai, hidup harmoni, saling menghormati. Pastilah, Islam adalah suatu iman yang terikat dengan perintah untuk mengasihi sesama manusia dan menghormati semuanya? Dan ternyata saya terlalu naif.

Pada saat usia saya baru memasuki 20 tahun, suatu kejadian berlangsung yang mengubah arah dunia menuju suatu kondisi yang paranoia dan ketakutan seperti sekarang ini. Pada tanggal 11 September 2001 saya ingat ketika di ruang tamu sedang melihat TV. 

Saya sedang menyeduh mi instant namun kemudian sebuah berita mengejutkan tampil di TV saya – “Teroris menyerang Amerika!” Hati saya berdegub, dan perut saya mulas membayangkan dua pencakar langit terkenal di Amerika, lambang dari kejayaan keuangan dan kebebasan Amerika – runtuh. 

Pembaca berita di TV terlihat terbata-bata tidak percaya, seperti tidak lancar membaca apa yang akan ia ucapkan. Kejadian yang sungguh mengerikan. Penuh kengerian.

Masih kaget dan masih menganalisa tayangan yang baru saya lihat di kepala, saya dengan cepat menelpon teman-teman tentang adanya kejadian tersebut. Tidak berapa lama, kami kumpul dengan wajah masing-masing terpana, mencoba memahami tragedi tersebut. 

Pertanyaan yang tidak terucapkan ada di bibir kami… mengapa? Saling memandang kami menggelengkan kepala, mencoba untuk mengartikulasikan kalimat-kalimat untuk membantu membayangkan keganasan yang dilepaskan kepada manusia yang tak bersalah.

Kami terus berjaga mendengar-dengar berita apakah akan ada kejadian lagi seperti tadi. Dan dalam beberapa jam kami menerima beberapa penjelasan dari tv berita yang mengkonfirmasi
dugaan kami – serangan WTC tersebut adalah pekerjaan teroris. 

Saya bersikukuh kalau serangan tersebut berarti kiamat dunia. Pikiran saya mulai memainkan serangkaian kejadian yang meluluh-lantakkan – perang, kelaparan, total kiamat. Untungnya, saya keliru. Tetapi Amerika pergi berperang ke Irak dan Afghanistan. Selama lebih dari sepuluh tahun mereka mencari tokoh utama yang siluman, Osama bin Laden.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah saya menyaksikan dimulainya perang yang tak pernah berakhir dengan Amerika memerangi musuhnya yang tidak kelihatan. Media ramai memberitakan “Perang terhadap Terorisme”, ketika kenyataannya adalah konfrontasi yang tidak berujung dengan Islam yang sebenarnya. 

Setelah Amerika menginvasi Afghanistan dan proses pembersihan WTC dimulai, para pemimpin dunia yang malu karena kejadian ini bergegas mencari penjelasan yang jelas dan dapat dicerna atas serangan tersebut, dan bagaimana protokol keamanan pesawat dan bandara dapat dibobol dengan cara mengerikan seperti itu. 

Begitu juga, perlahan mulailah media mulai dilarang menggunakan kata-kata Muslim, Islam kalau sedang membicarakan terorisme; apalagi Indonesia negara dengan mayoritas Islam, pembela Islam tentu akan mencocol. Namun, bagaimana kita bisa menyangkal kalau ‘Islam’ memang memainkan peran penting dalam serangan tersebut karena pembajaknya adalah Muslim.

Namun, terutama karena kenaifan dan kegagalan, para pemimpin negara-negara melakukan sesuatu yang disebut dengan sopan santun politik, yang akhirnya patut disesali, karena nampaknya pejabat tinggi negara-negara seperti Amerika, Eropa, dan juga Indonesia, ketakutan kalau mengecewakan dan menyinggung teroris Muslim masa depan. 

Presiden, perdana menteri, semua menegaskan kalau para teroris ‘Muslim yang berkebangsaan Saudi Arabia’ tersebut tidak mewakili negara atau ideologi manapun. 

Dan sementara para bangsa-bangsa dengan sia-sia meraba-raba, berpolitik, dan berusaha meningkatkan hubungan dengan sebuah negara Islam yang kaya minyak, yang dicurigai oleh banyak pihak mempunyai hubungan dengan mereka yang mendanai serangan tersebut – akhirnya masyarakat menjadi lelah, tidak percaya, tidak percaya pada pemerintahan yang ada. 

Bagaimana-pun juga bagi beberapa yang masih rasional terbangun dari kejadian ini – nampak jelas sekali – dunia sedang berada di tengah-tengah serangan Islam.

Setelah beberapa bulan berjalan, mayoritas pemerintahan negara Amerika Eropa mulai menyebarkan pesan yang manis tentang sopan santun politik untuk mencegah dunia jatuh ke dalam kerusuhan, dan khususnya kritikan terhadap ideologi Islam. 

Tanpa diragukan, agenda liberal (kesetaraan, kesejahteraan, pendidikan, kesempatan, per-damaian, etc) sedang mulai menanjak. Hasilnya adalah polarisasi antara mereka yang idealisme naive dan konservatif nasionalis mulai melebar. 

Penjualan senjata api mulai marak di seluruh dunia, dan peralatan perlengkapan untuk bertahan hidup pada saat ‘kiamat’ membanjiri masyarakat, memanfaatkan rasa takut yang ada. Syukurlah, walaupun begitu dunia tidak berakhir tahun itu. Namun cara hidup menjadi tidak sama lagi, bahkan berubah memburuk.

Kami kehilangan kepercayaan pada keamanan nasional dan komunitas intelijen kami. Demikian juga, adanya teori konspirasi membuat kami tidak tahu apa atau siapa yang dapat dipercaya. Dan walaupun ada serangkaian serangan setelah 9/11 yang tidak berhasil (pemboman yang ditanam di dalam sepatu, bom yang ditanam pada jembatan Brooklyn, jaringan Jihad Virginia), yang semuanya dilakukan oleh orang Muslim, para pemimpin dunia tetap terus bersikeras untuk menolak untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme.

Beberapa tahun kemudian, saya ingat pada suatu waktu sebelum serangan WTC, seorang teman, yang belajar Alkitab Kristen telah memperingatkan saya bahwa, “Satu-satunya cita-cita Islam adalah mengambil alih dunia.” Jujur saja, saya menolak anggapan itu, dan masih mempercayai kalau semua agama itu mengajarkan kebajikan. 

Akan tetapi setelah 9/11, pernyataan teman saya itu terus menghantui saya. Namun satu-satunya penjelasan yang saya dapatkan adalah bahwa teroris semata-mata hanya lah Muslim yang radikal, suatu grup sesat yang terdiri dari pembunuh dan fanatik lepasan, membajak agama mereka untuk tujuan ‘politik’ tertentu….Saya ternyata sangat sangat keliru…

Bertahun-tahun kemudian, setelah pasukan sekutu akhirnya menarik diri dari Afghanistan dan Iraq, saya tetap terus menyaksikan kebencian Muslim akan Amerika Serikat semakin lama semakin memuncak, tetapi kali ini sebetulnya diarahkan ke dunia barat secara umum. Yang menggelisahkan saya adalah mayoritas negara-negara Islam, yang tidak pernah diduduki atau diserang oleh Amerika atau sekutunya, menunjukkan seruan-seruan masyarakat untuk membinasakan total negara barat. 

Ironisnya negara seperti Pakistan, Iran, Mesir, Lebanon, Oman, Yaman, dan bahkan jalur Gaza (yang masing-masing tidak memiliki hubungan diplomatik yang kuat satu sama lain), semua menunjukkan ancaman yang lebih besar kepada budaya barat, bahkan lebih dari Iraq selama ini.

Di semua negara-negara ini, tidak jarang disaksikan demonstrasi yang mengerikan dari laki-laki kaum Muslim sambil mencengkeram senjata di tangan, sambil memegang Quran dan menyerukan penghancuran total “barat”. Sekitar waktu-waktu itulah negara-negara barat menjadi makin awas dengan kata Islam yang sering diulang-ulang dengan “Kafir”, “Syariah” (hukum Islam) dan tentu “Jihad”. 

Dan tidak lama setelahnya, serangan teroris menjadi bagian normal dari kehidupan di negara barat. Seolah hal itu dapat diterima sempurna kalau negara kita bisa mentoleransi penjahat ganas yang pembunuh.

Bagaimanapun, mengingat akan 9/11, yang membuat saya heran adalah para teroris tidak pernah menuntut sesuatu atau memberikan ultimatum sebelum serangan. Serangan yang terjadi tiba-tiba, tidak dipancing-pancing, dan tidak terduga. Para teroris ini semua siap mati untuk suatu alasan yang kita sama sekali belum terpahami. Namun sangat jelas bahwa Islam memainkan peran penting dalam memotivasi terorisme terhadap negara barat.

Karena secara naluri ingin tahu dan menetapkan diri untuk memecahkan teka teki ini, saya menyelami secara mendalam ajaran inti yang terdapat di dalam Islam, Hadis, dan puluhan buku yang menjelaskan doktrin Islam. Yang saya dapat membuat saya terhenyak. Kini saya tidak menebak-nebak lagi…Agenda Islam sedang dipaksakan atas kita.

Selagi saya mulai dengan gigih mempelajari Islam itu sendiri, mulai jelas bagi saya kalau nabi Islam Muhammad sendiri sebagai lem perekat yang memperteguh pola pikir para Muslim dalam satu kesatuan untuk membawa tatanan yang kompatibel dengan hukum Syariah yang tolalitarian di seluruh dunia. Teman saya benar, kita sedang diserang; bukan karena diplomasi yang gagal, tetapi sederhana, karena kita adalah non Muslim.

Dan dalam waktu kurang dari satu dekade, semua negara barat mulai menyaksikan warga negara mereka sendiri yang Muslim menjadi lebih arogan, berani, nekat, dan kasar dari sebelum-sebelumnya. Kita mulai menyaksikan gelombang agresi kaum Muslim, khususnya dalam bentuk demonstrasi politis. 

Yang memisahkan protes cara Islam dari protes yang lain sepanjang sejarah adalah ancaman verbal yang jelas untuk menyakiti, memperkosa, dan menundukkan Mereka berdemonstrasi di jalanan tidak hanya untuk menyampaikan keyakinan politik mereka, tetapi juga untuk secara kasar mengintimidasi siapa saja yang ada di jalur mereka. 

Sebagai akibatnya, para Muslim mulai mengancam kedutaan asing di negara barat dengan bebas tanpa takut dihukum, tanpa malu berlindung di balik hukum “pidato provokatif” yang demokratis, sambil meneriakkan “Bin Laden kembali lagi, hai Barat hati-hati”, “Mari kita invasi negara mereka dan kita ambil istri mereka sebagai rampasan perang”, dan “Jihad! Jihad! Jihad!”. 

Tentu saja, isu yang memecah belah seperti ‘Palestina’ juga menjadi alat yang penting untuk membenarkan para Muslim untuk makin agresif. Walapun maksudnya jelas untuk melakukan Jihad dan menghasut kekerasan, para polisi gagal untuk bertindak karena terlalu pengecut. 

Demikian juga, di tengah-tengah gelombang pertikaian dan ketidak-amanan, para politisi tetap diam seribu bahasa, menolak untuk mengambil tindakan keras pada penghasut yang kasar dan anti demokrasi. 

Daripada menangani langsung permasalahan, pemimpin kita menentramkan para bajingan, dengan cepat menahan setiap kemungkinan gerakan nasionalis. Pada saat ini para pemimpin seperti Bush, Blair, Brown, dan paling terakhir Obama, dengan putus asa dan rikuh menjelaskan bahwa, “Islam adalah agama damai.”

Para domba berbulu serigala ini, pembela Islam, dengan antusias dan cerdik setuju dengan pernyataan itu, sementara kaum nasional tersingkirkan dengan rasa ingin muntah. Dan melalui kepasifan mereka, tingkah laku mereka yang santun namun tidak berani mengatakan yang sebenarnya di hati mereka, malah membuat suasana makin buruk dan malah memperkuat ideologi para Jihadis. Sebenarnya, sentimen para pengecut berhati ciut itu menjadi bahan tertawaan para penganut ideologi yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesadisan dan kekejaman. Tetapi sayangnya, keadaan sudah mulai membusuk.

Sekali lagi, para Muslim mulai berdemo di jalanan, meludahi dan menyerang para polisi kita. Mereka mulai secara kasar menyerang mereka yang tidak sepaham, dan setiap orang yang mereka pandang menjadi ancaman terhadap paham Islam mereka. Mereka mulai mengintimidasi media massa, tetapi berlagak menjadi korban sementara terus memainkan kartu ‘ke-Islam-an’ mereka. 

Mereka menempatkan bendera-bendera bertuliskan Islam di luar kantor dan markas lingkungan mereka, membagi daerah menjadi area-area Muslim, dan memperingatkan mereka yang minum alkohol, mengajak jalan-jalan anjing mereka, atau mendengarkan lagu rock di lingkungan Syariah.

Sambil berlindung di balik ‘hukum anti penistaan’ mereka terus menyebarkan pesan benci. Dan walaupun mereka membunuh tentara, polisi di tanah air kita, dan mulai maraknya gang jaringan pedofil yang menjaja seks anak-anak di Irlandia, dan keterkaitan CAIR (‘Lembaga Hubungan Islam Amerika’) dengan kelompok teroris ‘Hamas’, dan agenda tersembunyi dibalik pelabelan produk Halal untuk membiayai terorisme – para pemimpin dunia juga nampak tetap membisu atas isu ini.

Sangat jelas dari bukti-bukti yang ada bahwa kebanyakan mayoritas dari komunitas Islam tidak pernah punya maksud mau berasimilasi dengan budaya setempat atau berbicara menentang agresi Muslim.3 Para pembela Islam dan simpatisan mereka terus mencoba membodohi publik, menina-bobokkan massa ke dalam keadaan koma sambil terhalusinasi oleh sopan santun politik. 

Mereka memainkan ketakutan supaya jangan negara seperti kita menjadi seperti komunis, atau Nazi – dan mereka berhasil. Hanya segelintir nasionalis sejati yang dengan berani memanfaatkan waktu yang ada untuk membela ke-bhinekaan – dan mereka pun semua di-anggap menghalangi jalan Awloh padahal yang mereka lakukan menguak agenda Islam yang mencoba mendominasi semua. 

Walaupun para nasionalis pendukung kemajemukan ini tercekik mati, makin banyak bukti-bukti yang menyembul ke permukaan tentang Imam Islam yang mendidik teroris dan pedofil muda, yang terus menggerus keamanan nasional dan mencabuli gadis-gadis non Muslim.

Sementara kecurigaan-kecurigaan akan Islam mulai terbukti satu-satu akan tindakan mereka yang kejam ini, provokator Muslim yang tidak terima dengan tuduhan tersebut mulai turun ke jalan meneriakkan “Awlohhuakbar!” Akan tetapi benar adanya, bahwa bangsa ini mulai terlihat terpisah antara yang Muslim dan non Muslim, menjadi negara apartheid, kita menjadi cukup bodoh untuk mendukung terorisme, pedofil, dan kriminal kejahatan manusia dari pajak negara. Demikian juga mulai nampak di Amerika, para pemimpin Islam meminta mereka yang membawa anak untuk mendukung jihad dengan tunjangan anak mereka yang diberikan negara.7

Tidak diragukan lagi, bau busuk keinginan para Muslim untuk mendirikan negara Islam mulai
muncul di negara-negara demokratis, dan tidak dapat disangkal bahwa superioritas Muslim telah secara aktif mempenetrasi seluruh jaringan komunitas bawah tanah, sampai ke pelosok-pelosok.

Para wanita Muslim mulai memakai penutup wajah di tempat umum, tidak mau dibuka di bandara, dan bahkan sekarang menolak berjabat tangan dengan kita. Terlebih lagi yang laki-laki mulai menolak kalau dihakimi di depan hakim tidak mau diadili dengan menggunakan hukum kafir.

Namun, saya tetap meneruskan untuk mempelajari Quran dan ternyata sangat jelas bahwa tindakan arogan dan subversif dari orang-orang Muslim ini diciptakan oleh junjungan mereka, tuan mereka – Muhammad. Kenyataannya, semakin saya membaca buku tersebut semakin saya mual dengan agama itu. Islam tidak menghormati kehidupan mereka yang non Muslim. Malah sebaliknya. Quran mengajarkan bahwa mereka, para non Muslim, adalah musuh, bukan sahabat.

Bagi setiap orang yang ingin menekuni mempelajari ke dalam kepercayaan inti dari agama Islam, maka Islam itu adalah bak lubang kelinci. Setelah anda mulai terjun ke dalamnya, menuju kedalaman kebejatan moral Muhammad, tidak akan bisa kembali normal – anda akan kembali ketakutan dan terguncang. 

Pasti, anda akan mencuci muka mencoba melupakan apa yang baru saja anda pelajari dan berharap itu tidak pernah akan terjadi, tetapi dunia berubah ke arah yang lebih buruk karena Islam – tidak terbantahkan. Nasionalisme bukan lah kata kotor. Mereka yang menandatangani deklarasi kemerdekaan mencurahkan hidup mereka, rela mati, memberi kehormatan, karena mereka ingin melihat negaranya maju, mengharga hak-hak dasar manusia, dan kebebasan. Tetapi sangat ironis kalau kertas deklarasi proklamasi tersebut malah tergunakan untuk mendukung gelombang baru fasisme?

Islam adalah fasisme. Suka berbuat curang, licik, dan tidak pakai aturan siapa pun. Ideologinya mengijinkan orang untuk berbohong selama ujungnya mendatangkan hasil – semua harus tunduk dan tidak boleh melawan. Jika pembaca masih dapat membaca buku terjemahan ini, maka berarti anda masih hidup di negara yang masih agak bebas. Jaga kebebasan ini. Sekarang mulai muncul di Indonesia mereka yang mengerti betapa Islam penuh intoleransi dan mereka tidak mau itu, bahkan mereka sendiri yang mengaku Muslim juga tidak mau. Kebebasan berserikat dan berkumpul dilindungi konstitusi negara maju, dan marilah kita berbicara kebenaran.

Kebebasan ada di dalam semua bentuk, khususnya berbicara, ini bukan pilihan – tetapi merupakan hal dasar yang universal. Para proklamator paham akan ini, dan memperjuangkannya bagi kita. Sayangnya kita sudah terlalu lama dengan itu dan tidak mempertahankannya. Tentu adalah hak mereka juga untuk tidak terlalu peduli. Tetapi apa yang terjadi kalau kebebasan itu diambil?

Pilihan itu ada pada kita. Saya harap mata anda terbuka dengan kebenaran, dan kesampingkan dulu rasa bangga, prasangka buruk, dan tunjukkan logika dan ke-intelektual-an kita sebagai bangsa untuk datang memahami secara rasional terhadap kasus saya melawan Muhammad.

Posting Komentar untuk "Teroris Dan Teror Yang Mendunia"