Pandangan Teologis Tentang Perceraian
![]() |
Apakah Boleh Bercerai? |
Pandangan Teologis Tentang Perceraian
Gereja percaya bahwa pasangan yang telah menikah tidak boleh bercerai (Mat. 19:6). Allah membenci perceraian (Mal. 2:16).Hanya maut yang bisa memisahkan (Rm. 7:2-3).
Bahkan bilamana terjadi perzinaan, solusinya bukan perceraian tapi pengampunan 70x7 kali (Mat. 18:22). Bilamana perceraian sampai terjadi, itu disebabkan karena dosa dan kekerasan hati manusia (Mat. 19:8).
Kasus kekerasan dalam rumah tangga
Maleakhi 2:16 TB
Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel – juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!
Tidak dibenarkan bercerai. Dalam situasi abusif-pun hanya dianjurkan perpisahan. Buat perjanjian dengan para saksi, bila terjadi kekerasan lagi maka akan dilaporkan kepada pihak berwajib yang berhak untuk menahan orang dalam penjara.
Rujuk disarankan setelah ada perubahan kepribadian (1 Kor. 7:11), walaupun hal itu biasanya sangat sulit. Kasus lain seperti ketidakcocokan: karakter, ribut terus, sakit penyakit, masalah keuangan, kebiasaan buruk, tidak punya anak (laki), juga tidak dibenarkan bercerai.
Perceraian menimbulkan efek negatif
Dampak Perceraian bisa secara spiritual, psikologikal, sosial, ekonomi, juga berdampak sangat buruk terhadap anak. Bila terpaksa bercerai, disarankan gugatan tidak berasal dari pihak yang "tidak bersalah” tapi dari pihak yang bersalah, yaitu yang berzina. Bila bukan karena perzinaan, seorang pria/wanita dianggap berzina bila menikah lagi.
I Kor. 17:13-15 mencatat kasus suami istri yang sudah menikah di luar iman Kristen, lalu salah satunya percaya kepada Tuhan Yesus. Bila pasangannya yang tidak percaya mengancam agar dia meninggalkan Kristus, maka dia harus tetap setia kepada Kristus bahkan bila dia diceraikan (bukan menceraikan). Perceraian harus datang dari pihak yang tidak beriman.
I Kor. 17:13-15 mencatat kasus suami istri yang sudah menikah di luar iman Kristen, lalu salah satunya percaya kepada Tuhan Yesus. Bila pasangannya yang tidak percaya mengancam agar dia meninggalkan Kristus, maka dia harus tetap setia kepada Kristus bahkan bila dia diceraikan (bukan menceraikan). Perceraian harus datang dari pihak yang tidak beriman.
Bagaimana dengan kasus zina?
(Mat. 5:32, Mat. 19:3,9 “Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?” Jawabannya adalah: Tidak boleh - kecuali karena zina). Kata “kecuali” ini menimbulkan perbedaan pandangan yang tajam.
Pandangan pertama
Bandingkan dengan kisah Yusuf yang ingin menceraikan Maria secara diam-diam saat Yusuf mengetahui Maria sudah hamil ketika masih bertunangan, sebelum menikah. Argumennya: Kata Yunani untuk percabulan sebelum nikah adalah porneia (Ing: fornication) sedangkan perzinaan (Ing: adultery) setelah nikah adalah moicheia.
Berarti kalau pasangan melakukan percabulan sebelum menikah boleh diceraikan tapi kalau sudah menikah tidak boleh diceraikan. Namun argumen ini tampaknya kurang tepat.
Pdt Henky So, MTh
Pandangan kedua
menjelaskan bahwa kata zina (Yun: porneia) dalam Mat. 19:6 tidak hanya merujuk kepada peristiwa sebelum namun juga setelah pernikahan. Kata porneia mencakup arti luas termasuk incest (I Kor. 5:1), homoseks (Yud. 1:7), termasuk perzinaan setelah menikah (Yer. 3:2,6 versi Septuaginta).
Bandingkan dengan Yer. 3:8, “Dilihatnya, oleh karena zinanya Aku telah menceraikan Israel, perempuan murtad itu, dan memberikan kepadanya surat cerai;" Lagi pula konteks pembicaraan Mat. 19:6 bukan tentang pertunangan tapi tentang seorang suami yang telah menikah dengan isterinya.
Perceraian bisa terjadi karena ada perzinaan (porneia) yakni perzinaan sebagai pola hidup, ketagihan, habit, dan tidak ada niat untuk bertobat. Berarti bila seseorang jatuh dalam dosa seksual dengan orang lain, tidak boleh diceraikan tapi harus diampuni.
Perceraian bisa terjadi karena ada perzinaan (porneia) yakni perzinaan sebagai pola hidup, ketagihan, habit, dan tidak ada niat untuk bertobat. Berarti bila seseorang jatuh dalam dosa seksual dengan orang lain, tidak boleh diceraikan tapi harus diampuni.
Namun bila orang itu hidup terus menerus dalam dosa ini, bertahun-tahun, dan tidak ada niat bertobat maka perceraian bisa terjadi, walaupun tidak harus terjadi.
Namun perceraian karena alasan apapun termasuk porneia, bukanlah kehendak Allah yang sempurna (the perfect will of God) tapi kehendak yang diizinkan atau dibiarkan Tuhan (the permissive will of God) karena kekerasan hati manusia.
The Perfect Will of God - apa yang Tuhan inginkan: Yang menikah tidak boleh bercerai (Mat. 19:6). Hanya boleh menikah lagi bila pasangan sudah meninggal (Rom. 7:2-3).
The Permissive Will of God - apa yang Tuhan izinkan/biarkan. Tuhan menghargai kehendak bebas (free will) kita walaupun kadang pilihan kita bukan yang terbaik dan hal itu bukan ide Nya atau rancangan-Nya yang semula.
Namun perceraian karena alasan apapun termasuk porneia, bukanlah kehendak Allah yang sempurna (the perfect will of God) tapi kehendak yang diizinkan atau dibiarkan Tuhan (the permissive will of God) karena kekerasan hati manusia.
The Perfect Will of God - apa yang Tuhan inginkan: Yang menikah tidak boleh bercerai (Mat. 19:6). Hanya boleh menikah lagi bila pasangan sudah meninggal (Rom. 7:2-3).
The Permissive Will of God - apa yang Tuhan izinkan/biarkan. Tuhan menghargai kehendak bebas (free will) kita walaupun kadang pilihan kita bukan yang terbaik dan hal itu bukan ide Nya atau rancangan-Nya yang semula.
Contoh: Permintaan bangsa Israel akan seorang raja sebetulnya merupakan penolakan akan Allah sebagai raja mereka (1 Sam. 8:7), tapi Allah dalam kemahatahuan-Nya telah mengantisipasi hal itu dengan memberikan hukum tentang raja (Ul. 17:14-20).
Begitu pula Allah membenci perceraian, tapi Dia yang tahu ketegaran hati manusia memberi aturan: bilamana perceraian terjadi, tidak boleh karena alasan lain kecuali karena zina.
Pdt Henky So, MTh
Posting Komentar untuk "Pandangan Teologis Tentang Perceraian"