Simpati vs Empati

empati dan simpati
Simpati atau empati?
Suatu hari saat anak bungsu kami masih studi di Dallas, curhat dan menceritakan masalah yang dia rasakan. Sayangnya saat itu saya langsung menawarkan bantuan kepadanya. Dia kemudian mengeluh dan mengatakan, bahwa dia hanya butuh didengarkan dan dimengerti dan bukan minta bantuan.

Saya merasa gagal saat itu. Sebagai Ayahnya saya hanya bersimpati dan kurang berempati saat dia berbagi cerita.

Apa yang membedakan empati dan simpati. Ada dua sikap yang muncul saat kita tahu keluarga kena musibah, sedang menolong orang yang curhat, ataupun saat Konseling

Simpati

Kalau digambarkan simpati itu seperti kita lagi berdiri di pantai melihat teman lagi mau tenggelam. Kita segera bertindak mencari pelampung dan melemparkan ban tsb. Ya hanya melemparkan pelampung. Setiap manusia yang normal bisa melakukan hal tsb. Tidak terlalu sulit. Simpati pada dasarnya normal ada di dalam diri setiap kita. Tidak banyak energi yang kita keluarkan

Empati

Saat melihat orang tenggelam Anda akan memilih segera menyelam ke dalam air, ikut ke dalam gelombang air dan merasakan dinginnya serta mengambil risiko dengan orang tsb. Ini menegangkan dan membahayakan.

Wajah juga akan mengikuti perasaan orang yang dibantu. Ada sedih, takut dan perasaan lainnya. Setelah berjuang berenang masuk ke dalam air, si penolong akan membawanya ke tempat yang aman lalu selesai.

Itulah empati. Tidak banyak dari kita yang siap berempati, karena berisiko dan membutuhkan banyak energi, emosi saat mendengarkan, kerelaan masuk dalam hidup klien saat dia berbicara

Dalam pengalaman sehari-hari menghadapi bencana misalnya, kita melihat banyak orang yang rela mengirimkan doa-doa, bantuan uang, pakaian atau makanan ke para korban banjir. Tapi yang benar-benar rela terlibat langsung, ikut membersihkan rumah, mengangkat barang hingga menjadi teman bicara saat kesusahan menimpa, relatif tidak banyak.

Perasaan empati jelas berisiko dan tidak akan pernah membuat anda sama dengan sebelumnya. Jika Anda rela membenamkan diri dalam kesulitan atau situasi orang lain, Anda akan memiliki perspektif baru. Tindakan itu akan membuat Anda lebih sabar, berkorban, dan lebih peduli dan mencintai.

Pentingnya Empati

Empati membuat kita menjadi lebih manusiawi, rela tampil bukan sebagai yang utama atau menonjolkan diri, tapi hanya di urutan yang tidak penting. Kita mengutamakan orang lain, yakni klien atau orang yang kita bantu.

Seperti catatan kitab Filipi:
"Jadi karena dalam Kristus ada nasihat, ada penghiburan kasih, ada kasih mesra dan belas kasihan, sempurnakanlah sukacitaku dengan ini: hendaklah kamu tidak mencari kepentingan sendiri atau popularitas atau penghargaan yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati kamu menganggap yang lain lebih utama dari dirimu sendiri"

Yang pasti kita memiliki cara pandang baru karena ikut meraba rasakan pengalaman orang yang berduka. Merasakan kehilangan mendalam. Seperti kata Rasul Paulus orang yang punya empati "cakap berduka dengan yang orang yang berduka. Bisa tertawa dengan mereka yang lagi senang".

Keistimewaan lain, jika kita sudah berhasil menolong klien, maka kita tidak menjadi penting lagi. Tidak seperti relawan yang memberi bantuan pada korban bencana, mereka senang menampilkan diri di Instgram, TV atau media lainnya. Berempati membuat wajah berseri karena bahagia, bantuan dan kerelaan mendengarkan klien tidaklah penting untuk diceritakan.

Seperti metafora, "Apa yang diberi dengan tangan kanan tidak perlu diketahui tangan kiri."
itu sebabnya setelah proses Konseling empati akan membantu kita melupakan semua proses, dan tidak membawa masalah tersebut ke rumah atau kehidupan sesehari. 

Tapi kalau kita hanya mampu bersimpati, kita akan terus membawanya dan bisa mengganggu setelah proses Konseling selesai.

Pelbagai macam rasa yang muncul: perasaan bersalah karena merasa tidak membantu keluhan klien yang perlu uang, dlsb.

Julianto Simanjuntak
Catatan Konseling

Posting Komentar untuk "Simpati vs Empati"