Diatas Batu Karang Ini Aku Membangun JemaatKu, Matius 16:18

“Diatas Batu Karang ini aku membangun jemaatKu” kata sang Guru Agung Yesus Kristus. Dia telah memulai Jemaat mula-mula (gereja) yang kecil, sederhana, dengan segala kepenuhan kuasaNya yang siap menghadapi tantangan, penderitaan, penganiayaan layak domba ditengah serigala.

Bukankah ini merupakan dasar pijakan kita dalam melangkah, membangun jemaat meneladani Sang Guru Agung itu? Realitas sosial yang dihadapi zaman ini bahwa gereja menjadi tempat uji coba oknum tak bertanggung jawab dengan segala teror dan kekerasan yang menghancurkan bukan saja bangunan tetapi jemaat dan personilnya pun ikut terbantai.

Kehadiran gereja seakan seperti musuh dan perusuh. Apakah memang demikian sehingga menimbulkan tindakan anarkis yang tak kunjung usai? Mulailah dari diri kita untuk merefleksikan diri terhadap kebenaran-kebenaran Firman sehingga tidak ada celah untuk musuh mendakwa kita. Diskriminasi, pembantaian, tekanan terhadap gereja, bukankah ini merupakan peransang bagi pertumbuhan gereja secara cepat dan kokoh?

Makin ditekan makin merambat itulah gereja dan jemaat zaman ini. Apapun tantangannya kita akan semakin maju, memulai dan membangun gereja yang baru bagi kerajaan dan kemuliaan nama Tuhan. Dengan keterbatasan penulis akan mencoba menggali dan memaparkan kepada pembaca bagaimana memulai, mempersiapkan gereja dalam menghadapi tantangan dan hambatan.

Gereja Mula-Mula
Istilah Yunani berarti ekklesia berarti pertemuan atau sidang (jemaat). Kata ini umumnya dipakai bagi sidang umum dari penduduk kota yang dikumpulkan secara resmi. Sidang seperti ini menjadi ciri segala kota diluar Yudea, dimana Injil dimashyurkan. 

Kata ekklesia juga dipakai dikalangan Yahudi bagi jemaat Israel yang dibentuk di Sinai dan dikumpulkan di depan hadirat Allah pada hari-hari raya tahunan, yakni pengantara yang ditunjuk Allah menjadi wakil umat.

Gereja dalam arti Kristiani muncul pertama kali di Yerusalem setelah kenaikan Yesus ke sorga. Bagian terbesar gereja itu terdiri dari kelompok murid Yesus yang berasal dari Galilea, bersama-sama dengan mereka yang menyambut pemberitaan para rasul di Yerusalem.

Gereja menjadi besar (Kis 21:20) bahkan menyambut imam-imam dan Farisi menjadi anggotanya (Kis 6:7). Pada mulanya gereja mencakup juga kaum Helenis, Yahudi perantauan yang berbahasa Yunani, yang sebagai musafir datang di Yerusalem untuk mengikuti hari raya, atau yang dengan berbagai alasan tinggal di Yerusalem.

Bisa dimengerti bila gereja Yerusalem menganggap dirinya sebagai ekklesia, yang menjadi sisa Israel yang telah dipugar, yaitu jemaat Tuhan yang sejati. Apa yang tidak dicatat oleh Kisah Para Rasul ialah peristiwa terjadinya di luar daerah Israel suatu kelompok campuran Yahudi dan non-Yahudi, yang disebut ekklesia di Antiokhia.

Demikianlah keadaannya, bukan Yerusalem, melainkan Antiokhialah yang menjadi model dari gereja baru yang muncul di seluruh dunia. Gereja itu didirikan oleh Yahudi Helenis. Di sinilah untuk pertama kalinya orang-orang percaya disebut christianoi, orang-orang Kristen, oleh masyarakat non-Kristen tetangga mereka (Kis 11:26).[1]

Membangun Gereja Yang Injili
Yesus Kristus mempunyai sebuah visi, dan diriNya sendiri adalah visi itu. Didalam Yesus Kristus firman dan perbuatan adalah satu. Yesus Kristus adalah firman yang telah menjadi manusia. Untuk mempunyai gereja yang injili, firman dan perbuatan harus menjadi satu dan sama. Kita tidak dapat memberitakan kesucian tetapi hidup secara duniawi.

Gereja harus menyadari bahwa membina sebuah gereja injili bukanlah sebuah program, tetapi suatu proses-suatu visi. Membina gereja yang injili adalah pengabdian seumur hidup, pantang mundur.[2]

Realitas mengungkapkan bahwa gereja hadir dalam beragam kebudayaan yang kompleks dan membutuhkan pembenahan dan penyesuaian tanpan menghilangkan atau menggeser kebenaran firman Tuhan yang hakiki.
Alkitab tidak mengenal budaya favorit, semua warna dan corak budaya manusia dihargainya.

Beberapa elemen dari kebudayaan mana saja yang bertentangan dengan firman Tuhan tentu tidak dipertahankan lagi manakala orang yang berkebudayan itu per caya kepada Tuhan Yesus. Semua kebudayaan manusia nanti akan berarak dalam suatu perarakan yang besar di Yerusalem Baru, tetapi setelah kebudayaan-kebudayaan ini disucikan (Wahyu 21: 26-27).

Dengan demikian maka dalam membangun sebuah gereja yang injili disamping praktek kehidupan yang sesuai dengan firman Tuhan gereja juga harus menerapkan praktek penginjilan yang efektif bagi anggota jemaatnya untuk multiplikasi pelayanan dan penambahan jiwa-jiwa baru. Penginjilan mutlak harus dihadirkan bila gereja ingin bertumbuh.[3]

Biarlah kasih Allah menguasai kehidupan gereja yang akan mendorong gereja mampu menghadirkan hakekat dirinya. Dunia kita akan lebih berpengharapan karena gereja menawarkan kasih Kristus.[4]

Menanggapi Tantangan Intern Dan Ekstern
Dengan melihat awal mulan berdirinya sebuah gereja melalui para rasul yang militan dalam mewujudkan visi amanat agung maka tak terlepas dari aniaya, perpecahan dan tantangan, ancaman serta penindasan yang mewarnai detik-detik proses pertumbuhan dan perkembangan gereja secara perlahan.

Ini adalah sebuah pengalaman sekaligus realita keberadaaan gereja yang terus akan berlanjut selagi berada di bumi ini. Bukan berarti bahwa gereja mengalami staknan namun semakin ditekan semakin merambat.

Dengan belajar dari pengalaman sejarah tersebut diatas maka kita mencoba menempatkan keberadaan gereja di negara Indonesia ini dan perpecahan yang dihadapi serta tanggapan gereja terhadap persolan-persolan intern dan ekstern.

Persoalan Intern
Dari gambar gereja-gereja di Indonesia nampak bahwa beberapa gereja pernah mengalami perpecahan. Mungkin ada orang yang berpendapat bahwa perpecahan gereja tidak bertentangan dengan keanekaragaman gereja, sebab dengan adanya perpecahan itu justru akan memperkaya keanekaragamannya.

Akan tetapi orang lupa bahwa keanekaragaman tidak dipahami dalam kaitannya dengan perpecahan, melainkan dengan keesaaan: karena baik keanekaragaman maupun keesaaan merupakan perkara yang esensial bagi gereja. Sedangkan perpecahan merupakan hal yang bertentangan dengan esensi gerja.

Munculnya gereja-gereja baru akibat pengaruh denominasi-denominasi dari negara-negara Anglosaksis mungkin dapat dianggap sebagai hal yang memperkaya keanekaragaman gereja di Indonesia. 

Akan tetapi keanekaragaman tidak boleh mematikan keesaan, sebab keanekaragaman tidak boleh mengorbankan keesaan seperti halnya keesaan tidak boleh mengorbankan keanekaragaman, mengingat keduanya merupakan perkara yang esensial bagi gereja.

Adanya beberapa gereja yang bergumul dengan persoalan cara bagaimana menciptakan tata-gereja yang cocok dengan keadaan mereka masing-masing pada hakikatnya merupakan hal yang sudah seharusnya selaras dengan kemandiriannya. 

Sebab mereka tidak wajib memberlakukan dan melestarikan tata gereja yang diwariskan induknya, bukan saja karena mereka wajib berteologi sendiri dalam hal itu, tetapi juga karena tata gereja pada hakikatnya hanyalah alat untuk mengatur kehidupannya dalam konteks pribadinya.

Dalam hal wajib berteologia sendiri itu, sudah barang tentu, hakikat gereja yang khas yang berbeda dengan organisasi biasa itu tetap menjiwai. Dengan demikian hakikat gereja yang khas tidak boleh dikorbankan hanya demi upaya menciptakan alat untuk mengatur kehidupan yang cocok dengan keadaan mereka masing-masing itu. 

Ditambahkan juga bahwa dalam hal wajib berteologi sendiri itu tidak menutup kemungkinan untuk mengkaji secara mendalam tata-gereja yang diwariskan induknya, bahkan tata gereja dari gereja yang tidak sedenominasi.[5]

Permasalahan oikumenis bahwa ada pihak-pihak tertentu di dalam gereja yang menafsirkan keesaan dalam arti organisasi, sehingga cita-cita mereka ialah mencapai gereja yang esa secara organisatoris. 

Hal ini menuntut peleburan-peleburan dan pembaruan-pembaruan dari gereja-gereja yang ada. Namun harus kita ingat bahwa faedah organisatoris tidak boleh ditonjolkan sebagai satu-satunya perhatian oikumenis.

Usaha-usaha oikumenis harus menekankan persekutuan dan doktrin maupun bentuk organisasi. Persekutuan adalah suatu faktor kritis dan harus diperhatikan serta dilaksanakan sesuai dengan firman Tuhan (Maz 133:1). 

Firman Tuhan membenarkan, menganjurkan dan mendorong umat untuk bersekutu. Namun pada saat yang sama kita harus menolak semua kekuatan yang merusakkan atau merugikan persekutuan Kristen.

Alkitab mengingatkan kita bahwa iman juga harus menjadi pusat perhatian kita, sebagaimana orang-orang Kristen mula-mula “bertekun didalam pengajaran rasul-rasul dan didalam persekutuan” (Kis 2:42). Persekutuan harus dilandasi dengan iman yang benar didalam Kristus. Demikian juga bentuk organisasi tanpa landasan iman yang benar itu tidak berarti.

Di dalam menuntut cita-cita oikumenis dengan jalan memfokuskan diri pada iman, persekutuan dan organisasi, kita dapt melangkah dengan mantap untuk mencapai kesatuan. Kita harus berusaha dengan keras untuk memelihara keseimbangan antara iman, persekutuan dan bentuk persekutuan/organisasi. Disinilah terjadi ketegangan antara bersekutu dan memelihara iaman.

Masalah PI dan pelayanan sosial dapat dilihat bahwa kesaksian pihak-pihak tertentu tentang Injil Yesus Kristus kabur dan tak terarah. Sering pelayanan kemanusiaan/sosial dianggap sama dengan kesaksian untuk injil. Usaha-usaha sosial dari pihak manapun yang ingin mengatasi kejahatan sosial dengan cara-cara manusia pasti gagal.

Kejahatan sosial tidak dapat diselesaikan dengan hanya menggunakan cara-cara manusia seperti perombakan sosial, revolusi dan lain-lain. Inti permasalahan kejahatan sosial adalah dosa, yang hanya bisa diselesaikan dengan pemberian kasih karunia Allah yang dinyatakan dalam tindakan-tindakan konkrit manusia. 

Injil adalah satu-satunya harapan kita untuk mengatasi kejahatan akibat dosa tersebut. Injil harus diberitakan dengan jelas dan gamblang. Pelayanan sosial adalah usaha manusia-manusia yang telah memperoleh anugerah keselamatan, dan merupakan tidak lanjut orang Kristen setelah menerima keselamatan.[6]

Persoalan Ekstern
Masalah tantangan ilmu pengetahuan dan teknologi terhadap gereja pada masa kini tidak berbeda dengan masalah yang dihadapi Adam. 

Yang menentukan kemenangan atau kegagalan menghadapi tantangan ini ialah sikap kita terhadap sabda Allah. Kalau Allah telah berbicara tentang apa saja, kita tidak boleh menerima masukan yang berbeda dengan sabdaNya itu.

Alkitab harus diterima sebagai sumber yang mutlak dalam setiap kegiatan, termasuk kegiatan sains dan teknologi. Sejak semula modus operandi iblis tidak lain daripada menawarkan sebuah alternatif yang berbeda dengan apa yang dikehendaki Allah. 

Pilihan yang terlarang itu tentu berakibat buruk, dan sepanjang zaman akibat buruk itu sudah dirasakan gereja. Tetapi masukan dari luar tidak mungkin dapat mempengaruhi gereja kecuali ada anggota gereja yang menyelundupkannya.

Kebanyakan orang belum mengetahui bahwa ilmu pengetahuan berbeda dengan teknologi. Teknologi tidak lain daripada pemanfaatan pengetahuan. Maka banyak yang kita ketahui, semakin canggih, teknologi yang kita kenal.

Bila kita memusatkan segala aktivitas gereja pada pelaksanaan Amant Agung Yesus (Mat 28:18-20), kita tidak akan perlu mengkuatirkan tantangan apapun yang mengaum di sekitar kita. Cara praktis yang bisa diterapkan :

Penginjilan : Penerimaan Yesus demi pengampunan dosa, sekaligus akan menghasilkan pembaruan mental. Tanpa penginderaan rohani tidak mungkin para anggota gereja kita dipersenjatai untuk menolak ajaran para sarjana modern.
 
Pendidikan : Pendidikan gereja melalui mimbar serta pelayanan lain harus Alkitabiah serta betul-betul bercorak Kristiani. Tidaklah cukup kalau orang hanya mengetahui kebenaran. Kebenaran itu harus dipraktekkan dalam hidup mereka. Penghayatan kebenaran Alkitab dalam dunia modern inimemerlukan setiap orang Kristen memahami firman Allah tentang alam dan manusia.[7] 

Masalah pendiskriminasian ras dan golongan sudah menjadi persolan utama di bangsa ini. Keberadaan gereja serta perkembangannya merupakan ancaman yang berat bagi keamanan umat Kristen itu sendiri. 

Adanya tindakan kriminal, penganiayaan, pembunuhan pembakaran gereja bahkan penutupan gereja dari pihak-pihak non Kristen yang dengan gigih dan semangatnya untuk menggagalkan dan menghambat pertumbuhan gereja.

Bagaimana tanggapan kita amengenai hal ini? Jelaslah bahwa untuk mengatasinya kita kembali kepada kebenaran firman Tuhan bahwa kita dihadirkan menjadi garam dan terang bagi sesama kita siapapun orangnya, musuh sekalipun kita dituntut untuk mengasihi mereka. 

Yang perlu dipertahankan adalah sikap tenang dan tidak mudah terpengaruh serta kasih yang besar maka apapun aniya kita hadir sebagai orang yang siap mengampuni dan melayani.

Gereja Dalam Menghadapi Masalah-Masalah Aktuil
Kesukaran Karena Menuntut Keadilan
Sejak manusia mendirikan keluarga mulailah timbul tragedi pertentangan antara saudara sendiri karena ingin menuntut keadilan. Pertentangan itu kemudian meluas diantara keluarga dengan keluarga, diantara suku dengan suku, sehingga terjadi pembunuhan dan peperangan dimana-mana tempat.

Pertentangan-pertentangan itu tak lain disebabkan karena tuntutannya terhadap keadilan. Kaum muslim seluruh dunia adalah dibawah pemerintahan kolonial. Tetapi kini negara-negara Islam yang merdeka dan berdaulat telah mencapai jumlah 75 negara dengan jumlah penduduk 700.000.000 orang.

Kesukaran Masalah Urbanisasi
Penduduk terus mengalir ke kota menimbulkan bermacam-macam kesukaran dalam hal perumahan, lalulintas, pemdidikan, kesehatan, lapangan kerja, polusi, keamanan, moral dan lain-lain.

Di dalam kota, keanekaragaman manusia, ketegangan kerja, keegoisan dan sifat mementingkan diri sendiri menimbulkan kurangnya rasa persahabatan antara manusia, juga karena alat-alat komunikasi dan mas media di dalam kota sangat maju, kejahatan sangat cepat menjalar dari satu tempat ketempat yang lain. 

Kota juga mudah menjadi tempat persembunyian penjahat-penjahat, maka kota merupakan markas kejahatan.
Mengenai gereja yang di kota, karena jemaatnya mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.

Kesimpulan
Gereja bukan empat untuk ajang ujicoba melainkan tempat untuk membina dan menumbuhkan iman jemaat dan semua anggotanya. Untuk menghadapi semua pengaruh-pengaruh buruk dari luar dan dari dalam yang menghancurkan gereja maka gereja harus kembali pada tujuan dasar dan esesnsi hidup bergereja yaitu keselamatan jiwa-jiwa tanpa mnegutamakan hala-hal yang bersifat skunder atau lahiriah yang tidak mempengaruhi keselamatan jiwa-jiwa.

[1] _________Eniklopedi Alkitab masa Kini Jilid I, hal 332-333
[2] John F. Havlik, Gereja Yang Injili, hal 127-132
[3] Pusat literatur Euangelion, tantangan Gereja Di Indonesia, hal 184
[4] ibid, hal 187
[5] Ibid, hal 21
[6] Ibid, hal 35-37
[7] Ibid, hal 78-90

Posting Komentar untuk "Diatas Batu Karang Ini Aku Membangun JemaatKu, Matius 16:18"