Memaknai Hidup Dari Kisah Tsunami, Mazmur 102:6-8
Mengenang kembali kenangan pahit masa lalu adalah hal yang sangat menyakitkan. Kisah kelam ketika Aceh dilanda bencana Tsunami. Sebuah kengan pahit yang tak akan terlupakan dan menjadi pelajaran berharga ketika kita memaknai dan menyikapi hidup ini
“Samaritan’s Purse” salah satu lembaga kemanusiaan yang terlibat langsung dalam misi kemanusiaan bencana tsunami Aceh 26 Desember 2004 silam. Saya tergabung dalam misi tersebut dan melihat secara langsung kondisi pasca tsunami.
Sangat mengerikan dan membekas dihati saat bersentuhan langsung dengan penduduk yang mengalami bencana. Tersirat sebuah duka dan kepedihan yang dalam. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Aroma kematian dan dukacita memenuhi sekeliling kami.
Kehadiran kami seolah berada di sebuah negeri asing tak berpenghuni. Seorang nenek kesepian, ditinggal pergi semua keluarganya. Seorang anak menagis mencari orang tuanya yang tak mungkin kembali lagi.
Gersang, Hancur dan Sepi. Sangat tepat ungkapan tersebut. Negeri yang gersang akibat dihempas gelombang, puing-puing bangunan terserak tak berpenghuni dan kesepian mencekam terasa dimana-mana
Teringat apa kata Mazmur:
Sebuah ratapan duka dan penderitaan yang dalam. Sang pemazmur menggambarkan penderitaan dan kepedihannya ibarat seekor burung.
Dia bercerita:
“Aku sudah menyerupai burung undan di padang gurun”.
Burung undan atau dikenal dengan nama burung Pelikan, sering pergi ke tempat yang sunyi, dan di sana ia duduk dengan pose yang melankolis, kepalanya tenggelam di bahunya, nyaris tidak bergerak sehingga dari jauh dapat disangka sebagai sebuah batu putih.
Burung ini dapat bertahan pada posisi itu selama berjam-jam, dengan demikian cocok dengan keadaan melankolis tanpa kegiatan yang disebutkan sang pemazmur sewaktu ia melukiskan kepedihannya yang menyayat hati .
Pelikan memperlihatkan kesukaan khusus akan tempat-tempat yang terpencil, jauh dari gangguan manusia. Di sana ia bersarang, menetaskan telur, dan beristirahat setelah menangkap ikan. Karena kegemarannya pada tempat-tempat yang sunyi dan terpencil, dalam Alkitab burung ini digunakan untuk melambangkan keadaan yang benar-benar telantar.
“Sudah menjadi seperti burung ponggok pada reruntuhan”.
Burung hantu/ burung pungguk dengan nama Ibrani “KOS” yang kadang-kadang diterjemahkan menjadi “burung hantu kecil” dan disebut sebagai Athene noctua (Ulangan 14:16) Burung hantu kecil, panjangnya sekitar 25 cm, adalah salah satu jenis burung hantu yang paling luas penyebarannya di Palestina, dapat ditemukan di belukar, di kebun-kebun zaitun, dan di puing-puing yang telantar.
Dalam Alkitab terjemahan LAI-TB, burung “KOS” ini diterjemahkan dengan “burung ponggok” Ketika sedang menderita seorang diri, sang pemazmur merasa “seperti burung ponggok (KOS) pada reruntuhan.” Tepat sekali, nama jenis burung hantu ini dalam bahasa Arab berarti “ibu puing-puing“.
Tidak ada keterangan dari sang pemazmur mengenai jenis burung apa yang bertengger diatas sotoh rumah. Tetapi kemungkinan itu burung gereja berhubungan dengan tempat-tempat tinggal manusia di banyak negeri di dunia, dan burung gereja biasanya hinggap di gedung-gedung di Palestina.
Gambaran penderitaan dan kepedihan itu juga yang saya saksikan dan rasakan waktu itu bersama mereka yang luput dari bencana itu.
Sungguh sangat mencekam dan mengerikan. Tetapi menyimak perkataan sang pemazmur memberikan harapan dan kekuatan bagi kita, walaupun ibarat seperti burung undan/pelikan sebagai gambaran kesunyian dan kegersangan, ada harapan bisa melanjutkan generasi (bertelur) dan memelihara generasi itu dalam kegersangan.
Ada waktu untuk menyimak dan menata diri sebelum memulai hidup yang baru dikemudian hari. Seperti burung pungguk yaitu “ibu dari puing-puing” gambaran keruntuhan, kengerian dan kemerosotan hidup manusia, kita masih bisa melanjutkan hidup dan terpelihara dalam kondisi apapun.
Dan seperti burung gereja yang sering bertengger diatas sotoh rumah, demikianlah kehidupan kita meskipun sulit, sedih dan hancur kita masih bisa bernyanyi seperti burung gereja yang berkicau diatas sotoh rumah kita setiap hari tanpa ada beban.
Hari ini masih ada kesempatan, esok masih tersedia harapan. Jangan berhenti sampai disini, bangkitlah dari kondisi apapun hidup ini, pandanglah masih ada Tuhan yang sanggup menolong kita.
Posting Komentar untuk "Memaknai Hidup Dari Kisah Tsunami, Mazmur 102:6-8"